Kamis, 01 Oktober 2009

Cerpen

My Best friend but... my rival

“Kring…kring…kring”, jam weker Kenysa berbunyi menunjukkan pukul 06.30. Cewek cantik dan pintar ini mempunyai kebiasaan buruk di mana ia sangat susah untuk dibangunkan. Selang beberapa menit kemudian terdengar hentakkan kaki mendekati arah kamar Kenysa. “Kenysa bangun sekarang sudah jam 06.30 nanti kamu terlambat lagi”, teriakan mamanya. “Waduh, sudah jam 06.30, gawat nih aku bisa terlambat”, Kenysa yang suka berbicara sendiri. Segeralah ia menyiapkan peralatan sekolahnya setelah itu mandi.

“Wah, enak sekali nasi gorengnya ini, Ma!”, pujian Kenysa untuk mamanya sambil makan terburu-buru. “Ayo, buruan makannya, ntar terlambat!”, mama Kenysa menyuruh anak tunggalnya itu segera berangkat sekolah. Setelah selesai makan Kenysa dan papanya berpamitan dengan mamanya karena mereka sudah mau berangkat.

Di tengah perjalanan menuju sekolahnya Kenysa menyuruh papanya agar mengendarai mobil dengan cepat karena ia takut terlambat. Sesampainya di depan pintu gerbang Kenysa berpamitan dahulu dengan papanya. “Pa, aku pergi dulu ya, hati-hati di jalan!”, Kenysa yang selalu berpamitan sebelum pergi.

“Ya, pintu gerbang sudah ditutup, bagaimana nih?”, Kenysa yang bingung pada saat itu. “Aha, aku manjat aja ya dari pada aku ntar terlambat dihukum sama Pak Rais”, Kenysa yang mempunyai 1001 cara.

Bergegaslah Kenysa berlari menuju kelasnya. “Untung saja Pak Rais belum datang kalo ngak aku bisa dibunuh”, napasnya yang terengah-engah.

“Hei, kenapa bengong, ayo masuk!” suara Pak Rais yang terdengar stabil. “I…ya, pak”, jawab Kenysa dengan suara yang gagap.

“Anak-anak pagi ini Bapak akan mengadakan ulangan matematika”, kebiasaan Pak Rais yang suka memberikan ulangan dadakan. Dalam lubuk hati kecilnya Kenysa ia sudah yakin akan siap menghadapi ulangan walaupun ia tidak belajar.

“Kevin, tolong Bapak untuk membagikan soal ulangan, ya!”, Pak Rais menyuruh Kevin murid kesayangannya. “Ya, Pak”, Kevin segera melaksanakan tugas yang diberikan Pak Rais.

“Key, gimana dong aku gak belajar nih?”, kata Risha sahabat baik Kenysa. “Emang kamu kira aku belajar, aku juga gak belajar tau”, mereka berbicara dengan berbisik-bisik takut Pak Rais dengar.

Suasana kelas yang tadi tak terkontrol berubah menjadi tenang. Pak Rais selalu mengawasi dengan mondar-mandir di dalam kelas. Sepuluh menit sebelum pelajaran Pak Rais usai lembar jawaban harus sudah dikumpul. Ketika waktunya hampir habis hanya Risha masih dengan serius meneliti jawabannya. “Anak-anak sepulang sekolah kalian dapat melihat nilai kalian di mading”, Pak Rais yang berbicara dengan seluruh muridnya sambil merapikan bukunya di atas meja. Setelah waktunya habis Risha kelihatan steres.

“Kenapa kamu keringatan?”, tanya sahabat baiknya. “Gak tau nih kenapa bisa keringatan padahal di kelas gak panas”, Risha mengambil tisu untuk membersihkan keringat diwajahnya. “Aku takut kalo aku dapat nilai jelek”, ketakutan luar biasa yang dialami oleh Risha. “Sudahlah kamu jangan terlalu panik gitu”, Kenysa berusaha meyakin Risha bahwa ia akan mendapatkan yang terbaik.

“Selamat pagi, anak-anak”, sapaan dari Ibu Tini guru biologi Kenysa. “Oh ya, anak-anak hari ini Ibu mau memberikan kalian pertanyaan atau semacam kuislah”, Ibu Tini menjelaskan pada muridnya. “Adakah yang mau bertanya sebelum kuis dimulai?”, Ibu Tini bertanya pada muridnya.

Tidak ada satu pun murid yang bertanya kepada Ibu Tini kemudian ia terus melontarkan banyak pertanyaan. Kenysa terbengong melihat sahabatnya yang dengan lancar terus menjawab pertanyaan Ibu Tini. Selain Risha tidak ada satu pun murid termasuk Kenysa yang dapat menjawab pertanyaan Ibu Tini.

“Bu, soal kuisnya susah banget”, cetus salah seorang murid. “Kalau sulit kenapa Risha bisa dengan lancar menjawabnya”, Ibu Tini menjawab cetusan salah seorang muridnya.

“Wah, Risha hari ini jenius banget”, Kenysa berbicara didalam hati. “Kok, aku merasa Risha mau menyaingi aku ya”, Kenysa takut apabila Risha merebut posisinya sebagai bintang kelas. “Gak mungkinlah mungkin perasaanku aja ya kali”, Kenysa yang berusaha untuk membangun diri kembali.

“Wah, Risha kamu hebat bisa menjawab pertanyaan yang diberikan Ibu Tini dengan benar”, Kenysa memberikan ucapan selamat kepada Risha. “Aku juga terkejut kenapa aku sampai bisa menjawabnya”, Risha juga binggung.

Saat yang ditunggu-tunggu pun datang. Di mana seluruh murid kelas X 9 ingin melihat hasil ulangan mereka. Mereka semua bergegas untuk pergi ke mading. “Ayo, Risha kita lihat nilai kita!”, ajak Kenysa sambil menarik tangan Risha. “Gimana nih aku takut kalo aku gak lulus?”, keringat bercucuran diwajah Risha. “Udah percaya diri dong”, Kenysa meyakinkan Risha.

Murid-murid berdesakan untuk melihat hasil ulangan mereka. Kenysa dan Risha menunggu sampai teman-temannya satu per satu pergi. Setelah beberapa menit kemudian, Kenysa dan Risha melihat hasil ulangan mereka. Betapa terkejutnya Kenysa melihat nilai Risha, Risha pun sendiri terkejut melihat nilainya 10. Kenysa merasa sedih melihat nilainya 8.

“Beneran nih aku dapat 10?”, Risha bingung sekaligus bahagia. “Ya bener kamu dapat 10”, Kenysa menjawab dengan tersenyum tapi didalam hatinya ia merasa sedih.

“Ternyata dugaanku tidak salah karena sudah terbukti Risha sekarang berusaha untuk mengalahkanku”, Kenysa bicara dalam hati dengan sedikit perasaan kesal. “Risha ternyata kamu bukan hanya jadi teman baikku tapi kamu jadi sainganku sekarang”, Kenysa berterus terang. “Betul, kita bukan hanya berteman baik tapi kita juga bersaingan tapi bersaing sehat ya?”, Risha menjawab perkataan Kenysa. “Aku tidak suka kalau yang menjadi sainganku adalah sahabatku sendiri tapi apa boleh buat”, Kenysa bicara dalam hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar